Monday, July 30, 2012

Tatacara Pengkreditan Pajak Masukan Bagi PKP Kegiatan Tertentu

lintasberita
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan, wajib menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan. Kegiatan Usaha Tertentu adalah kegiatan usaha yang semata-mata melakukan :
  1. penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran; atau 
  2. penyerahan emas perhiasan secara eceran
Besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan yang dihitung menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak MAsukan, yaitu sebesar :
  1. 90% (sembilan puluh persen) dari pajak keluaran, dalam hal PKP melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara ecran;
  2. 80% (delapan puluh persen) dari pajak keluaran, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan emas erhiasan secara ecran
PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan tidak dapat membebankan PPN atas perolehan BKP dan/atau JKP sebagai biaya untuk penghitungan pajak penghasilan.

BIsa Gak Mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak?

lintasberita
Pencabutan pengusaha kena pajak adalah tindakan menacbut Pengukuhan pengusaha Kena Pajak dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak. Pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak. Pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak hanya ditujukan untuk kepentingan tata usaha perpajakan dan tidak menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
Pencabutan Pengukuhan PKP adalah hak bagi setiap PKP yang sudah tidak memnuhi syarat lagi sebagai PKP. Pencabutan Pengukuhan PKP tersebut dilakukan dalam hal :
  1. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat ke wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak lain; atau 
  2. Sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak termasuk Pengusaha Kena Pajak yang jumlah peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran dan/atau penerimaan untuk Pengusaha Kecil
Dalam jumlah peredaran bruto dalam suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah peredaran bruto untuk pengusaha kecil, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya tahun buku yang bersangkutan (pasal 13 Kep.Dirjen Pajak Nomor NEP-161/PJ./2001)
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan pencabutan PKP, maka Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus menerbitkan keputusan atas permohoan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. Hal ini diatur dalam PAsal 2 ayat 8 dan 9 UU KUP. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan Penvabutan PKP dianggap dikabulkan dan surat keputusan mengenai pencabutan PKP harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.

Tuesday, July 24, 2012

Mengangsur atau Menunda Pembayaran PPh Tahunan

lintasberita
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan  Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayran pajak yang terutang termasuk kekurangan pembayaran Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar dalam Surat Pemebritahuan Tahunan Pajak Penghasilan meskipun tanggal jatuh tempo pembayaran telah ditentukan. Kelonggaran tersebut diberikan dengan hati-hati untuk paling lama 12 (dua belas) bulan dan terbatas kepada Wajib Pajak yang benar-benar sedang mengalami keuslitan likuiditas.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak terutang bertambah, serta pajak enghasilan pasal 29, kepada Direktur Jenderal Pajak.
Pemohonan paling lambat diajukan 9 (sembilan) hari kerja sebelum saat jatuh tempo pembayaran utang pajak berakhir disertai alasan dan julah pembayaran pajak yang dimohon diangsur atau ditunda. Apabila ternyata batas waktu 9 (sembilan) hari kerja tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan diluar kekuasaannya, permohonan Wajib Pajak masih dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak sepanjang Wajib Pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan diluar kekuasaannya tersebut.

Tempat Pembayaran Pajak

lintasberita
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dngan atau berdasarkan Peraturan Menetri Keuangan. Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan di Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Penunjukkan bank sebagai bank persepsi diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :5/KMK.01/1993 tentang Penujukkan Bank sebagai Bank Persepsi Dalam Rangka Pengelolaan Penerimaan Negara.
Pengertian yang berhubungan dengan bank sebagai tempat pembayaran pajak anatar lain :
  1. Bank Persepsi adalah bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi peneriman pajak, cukai dalam negeri dan penerimaan negara bukan pajak.
  2. Bank Devisa persepsi adalah bank devisa yang menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor
  3. Bank Tunggal adalah Bank Indonesia yang mengelola penerimaan dan pengeluaran yang membebani rekening kas negara
  4. Bank Operasional I adalah bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk mengelola peneriman dan pengeluaran yang membebani rekening kas negara dalam daerah dimana tidak terdapat Bank Indonesia

Batas Waktu Pembayaran STP, Ketetapan, Keputusan dan Putusan

lintasberita
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan SUrat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasannya dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Wajib Pajak usaha kecil terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan. Wajib Pajak usaha kecil harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
  1. Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil :
  •  Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan
  • Menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau menerima penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam tahun pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
   2. Wajib Pajak badan usaha kecil :
  • modal Wajib Pajak badan 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara Indonesia
  • menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam tahun pajak sebelumnya tidak lenbih dari Rp.900.00.000,00 (sembilan ratus juta rupiah)
Sedangkan Wajib Pajak didaerah tertentu adalah Wajib Pajak yang tempat tinggal, tenpat kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang ditetapkan oeh Direktur Jenderal PAjak. Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu pelunasan dan pengaturan daerah tertentu diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

Tuesday, July 17, 2012

Peranan Pajak Memajukan Pendidikan

lintasberita Ditengah keraguan masyarakat akan peranan pajak dalam memajukan pendidikan di Indonesia, sebenarnya pemerintah telah memberikan keringanan pajak terhadap institusi pendidikan. Hal ini mengingat pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa dan masih terbatasnya anggaran negara untuk bidang pendidikan.

Dalam peranannya tersebut, pemerintah memberikan insentif bagi organisasi nirlaba yang menginvestasikan penghasilan yang diperolehnya pada pengembangan dunia pendidikan. Terhadap laba yang diperoleh oleh organisasi pendidikan tersebut yang diinvestasikan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Artinya, apabila organisasi pendidikan tersebut mendapatkan laba, laba yang seharusnya dikenakan pajak (PPh) tidak akan dikenakan PPh jika laba tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana. Pemerintah memberikan jangka waktu selama 4 (empat) tahun sejak laba tersebut diperoleh, untuk ditanamkan kembali.

Akan tetapi, setelah lewat dari 4 (empat) tahun laba tersebut tidak digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan maka akan dikenakan pajak penghasilan pada tahun pajak berikutnya setelah lewat jangka waktu 4 (empat) tahun tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh). Selanjutnya dasar pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan Lembaga atau Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan. Petunjuk teknisnya diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-44/PJ./2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian danPengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan

Sementara itu, sarana dan prasarana pendidikan tersebut meliputi sebagai berikut:

  1. Pembelian atau pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, penelitian dan pengembangan termasuk pembelian tanah sebagai lokasi pembangunan gedung dan prasarana tersebut; �
  2. Pengadaan sarana dan prasarana kantor, laboratorium dan perpustakaan; �
  3. Pembelian/pembangunan asrama mahasiswa, rumah dinas guru, dosen atau karyawan, dan
  4. Sarana prasarana olahraga, sepanjang berada di lingkungan/lokasi lembaga pendidikan formal.

Penerimaan Perpajakan 1.000 Triliun Optimis Dicapai Dengan Reformasi Birokrasi

lintasberita Di tahun 2012, Indonesia mempunyai target pertumbuhan penerimaan pajak Rp 1.000 triliun. Ditjen Pajak (DJP) yakin dengan konsekuen menerapkan nilai-nilai Kementerian Keuangan yakni: Integritas, Profesional, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan, serta terus meningkatkan reformasi birokrasi yang tengah dijalankan, disertai dengan dukungan rakyat dan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa, maka target penerimaan tersebut dapat dicapai.

Internalisasi kelima nilai-nilai Kementerian Keuangan itu terus digalakan mulai dari Kantor Pusat, hingga di seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP), seperti di Kanwil DJP Jakarta Khusus,Kanwil DJP Aceh KPP DJP Aceh, KPP Pratama Surakarta, hingga KPP Pratama Sukoharjo.

Penerapan kelima nilai-nilai Kementerian Keuangan itu adalah kunci sukses agar DJP dapat menjalankan “TUJUH LANGKAH STRATEGIS” untuk mengamankan penerimaan pajak di tahun 2012, yang meliputi:


  1. Penyempurnaan sistem administrasi pajak sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
  2. Pengawasan secara lebih intensif pada sektor usaha tertentu yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan;
  3. Pembinaan dan pemberian fasilitas perpajakan untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM);
  4. Peningkatan penegakan hukum di bidang perpajakan dan penyempurnaan Sistem Piutang Pajak secara online;
  5. Pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional yang lebih terencana, terarah, dan terukur;
  6. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (Account Representative, Pemeriksa dan Juru Sita); dan
  7. Penyempurnaan Sistem Pengendalian Internal melalui peningkatan fungsi kepatuhan internal.
Dalam penyempurnaan sistem administrasi pajak pada sektor PPN, dilakukan registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dimulai sejak Februari 2012 hingga 31 Agustus 2012. Selain itu DJP masih bekerja melakukan harmonisasi atas seluruh ketentuan perpajakan yaitu: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak langsung Lainnya (PPN & PTLL), Keberatan dan Banding, serta Pemeriksaan dan Penagihan.

Dalam hal pengawasan yang lebih intensif terhadap sektor usaha tertentu yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan diantaranya diwujudkan dengan membentuk KPP Migas dan KPP Pertambangan. Kerjasama dengan pihak eksternal terkait penyediaan data terus dilakukan sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012. Pembinaan perpajakan terhadap sektor UMKM dilakukan secara persuasif oleh Kanwil DJP Jawa Tengah II di Kabupaten Klaten.

Pelaksanaan program Sensus Pajak Nasional yang lebih terencana, terarah, dan terukur, pada tahun 2012 telah dilakukan re-launching mulai dari Kantor Pusat, hingga di seluruh Kanwil dan KPP. Seperti di Kanwil DJP Sumatera Utara II, Kanwil DJP Riau dan Kepulauan Riau, Kanwil DJP Kanwil Jakarta Selatan, Kanwil DJP Jawa Barat II, Kanwil DJP Jawa Timur II, Kanwil DJP Bali, KPP Pratama Palangkaraya, KPP Pratama Pekanbaru Senapelan, KPP Pratama Bengkalis, KPP Pratama Tapak Tuan, KPP Pratama Mamuju, KPP Pratama Kabanjahe, serta Kanwil dan KPP lainnya.

Reformasi Pajak, Rakyat Dapat Apa?

lintasberita Pajak adalah sumber utama penerimaan negara. Lebih dari 70% belanja negara dalam APBN berasal dari pajak. Reformasi perpajakan yang dijalankan pemerintah saat ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak sehingga pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa.

Negara dibentuk/didirikan untuk menciptakan kemakmuran. Tugas tersebut dapat diwujudkan apabila tersedia dana yang cukup untuk membiayai seluruh penyelenggara negara dan juga program-program kerjanya seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain yang tersusun dalam APBN. Tugas mengumpulkan penerimaan negara yang diamanatkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) membutuhkan manajemen baik karena tugasnya yang sangat kompleks. Dalam hal ini Ditjen Pajak membutuhkan restrukturisasi atau reformasi yang memungkinkan strategi, struktur organisasi, sistem, dan skill sumber daya manusianya dapat digerakan dengan cepat, sehingga memiliki kemampuan yang tanggap terhadap perubahan.

Pajak pada dasarnya adalah kewajiban kenegaraan yang merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan yang juga merupakan wujud bela negara. Namun demikian masih banyak anggota masyarakat yang belum menganggap bahwa membayar pajak merupakan bentuk partisipasi bela negara. Masyarakat masih mempertanyakan terlebih dahulu apa yang diberikan negara sebelum membayar pajak. Bahkan masih banyak masyarakat yang mempertanyakan apa yang telah diperbuat oleh Ditjen Pajak dengan uang pajak yang telah dikumpulkan.

Untuk memahami bagaimana sektor perpajakan dikelola, perlu diketahui bahwa terdapat tiga elemen penting dalam sistem perpajakan nasional, yang pertama: kebijakan pajak, yaitu kumpulan peraturan hukum yang mengatur bagaimana pajak dipungut, berupa Undang-undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Elemen kedua adalah institusi pemungut pajak dalam hal ini Ditjen Pajak, yang bertugas melaksanakan pengumpulan penerimaan negara dari sektor pajak. Elemen ketiga adalah Wajib Pajak, yang merupakan subjek atau pembayar pajak. Ketiga elemen sistem perpajakan tersebut sangat penting, dan jika salah satu dari elemen itu tidak berjalan maka sistem perpajakan nasional tidak akan berjalan dengan baik.

Monday, July 16, 2012

Impor BKP yang Dibebaskan dari Pungutan Bea Masuk

lintasberita
Atas impor Barang Kena Pajak (BKP) yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, tetap dipungut PPN dan PPnBM kecuali terhadap BKP seperti berikut :
  1. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan atas azas timbal balik
  2. Barang untuk keperluan badan international yang diakui dan terdaftar pada pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang  paspor Indonesia
  3. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial atau kebudayaan 
  4. Barang untuk keperluan museum, kebuan binatang dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum
  5. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembagang ilmu pengetahuan
  6. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya
  7. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah
  8. Barang pindahan TKI yang bekerja diluar negeri, pegawai negeri sispil, anggota TNI atau POLRI yang bertugas di luar negeri sekurang-kurangnya selama satu tahun, sepanjang barang tersebut tidak untuk diperdagangkan dan mendapat rekomendasi dari perwakilan RI setempat
  9. Barang pribadi penumpag, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perudang-undangan yang berlaku.
  10. Barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditunjuk untuk kepentingan umum.
  11. Perlengkapan militer termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara
Tatacara pelaksanaan pemungutan PPn dan PPnBM sepenuhnya dilaksanakan oleh direktur Jenderal Bea Cukai

Pajak Masukan Yang Tidak Bisa Dikreditkan

lintasberita Pada dasarnya pajak masukan dapat dikreditkan dengan pajak keluaran dalam suatau masa pajak yang sama. Tetapi ada juga pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan dengan pajak keluaran. Berdasarkan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, pajak masukan yang tidak bisa dikreditkan yaitu untuk pengeluaran :

  1. perolehan BKP atau JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
  2. perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
  3. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon kecuali merupakan brang dagangan atau disewakan
  4. pemanfaatn BKP TB atau pemanfataan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP
  5. perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagiamana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
  6. pemanfaatn BKP TB atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat 6 UU PPN
  7. perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbiatan ketetapan pajak
  8. perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan
  9. perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)

Keterangan :
BKP = Barang Kena Pajak
JKP = Jasa Kena Pajak
BKP TB = Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
SPT = Surat Pemberitahuan