Monday, May 7, 2012

POLA PEMBAYARAN PITA CUKAI

lintasberita
Perusahaan rokok memiliki karakteristik yang unik yang disebabkan oleh dikenakannya cukai atas produk-produknya dengan alasan ‘membahayakan’ kesehatan. Bukti bahwa perusahaan rokok telah membayar cukai ini adalah adanya pita cukai yang ditempel di setiap kotak bungkus rokok.

Pabrik rokok berdasarkan perkiraan penjualannya di periode mendatang yang kemudian diterjemahkan menjadi perkiraan produksi biasanya melakukan pemesanan pita cukai (yang akan ditempel pada bungkus rokok) ke Ditjen Bea Cukai senilai perkiraan produksi tersebut. Jika pemesanan pita cukai dilakukan dengan ‘ngebon’, maka pelunasannya harus dilakukan dalam waktu 2 bulan (untuk SKM/SPM) atau 3 bulan (untuk SKT dan yang lainnya). Karena secara agregat proporsi SKM adalah kurang lebih 2/3 dari seluruh produksi produk hasil tembakau, maka boleh dibilang hampir seluruh pesanan cukai akan jatuh tempo dalam waktu 2 bulan.


Kondisi seperti di atas akan mulai menjadi lebih rumit saat peraturan perpajakan menyatakan bahwa pabrikan rokok harus melunasi PPN atas penyerahan hasil produksi mereka di saat bersamaan dengan pelunasan ‘bon’ cukai mereka. Alhasil pola setoran PPN rokok akan mengikuti pola pelunasan cukainya, yang dengan kata lain pada satu masa pajak, setoran PPN rokok tidaklah mencerminkan jumlah penyerahan yang sebenarnya. PPN yang disetorkan merupakan hasil deduksi dari perhitungan jumlah cukai yang akan dilunasi -> di gross-up dengan tarif cukai sehingga ketemu nilai HJE -> dikalikan dengan tarif efektif PPN 8,4% dari nilai HJE tersebut. Jika diasumsikan terdapat korelasi yang kuat antara pola produksi dan pola pelunasan cukai, maka untuk PPN akan mengalami lag (waktu mundur) selama kurang lebih 2 masa pajak.

Pola seperti di atas akan semakin kentara di saat terdapat perubahan peraturan pemerintah yang mengubah HJE, tarif cukai, dan atau tarif cukai spesifik. Pabrikan rokok akan nampak ‘menimbun’ pesanan pita cukai sebelum saat diberlakukannya peraturan pemerintah yang baru dengan tujuan agar masih bisa menjual produknya dengan harga lama. Pada saat jatuh tempo barulah timbunan cukai tersebut dilunasi, sekaligus dengan pelunasan PPN-nya. Itulah sebabnya sehabis adanya peraturan baru, penerimaan PPN dari industri rokok nampak melonjak.

Berikut adalah sebuah contoh yang ‘cukup empiris’ yang menunjukkan bukti dari rangkaian cerita di atas. Berikut adalah tabel pemesanan pita cukai untuk triwulan I tahun 2008 dan 2007 dan bulan Desember tahun sebelumnya (misalnya kalau Januari-nya adalah tahun 2007 maka Desember tahun sebelumnya adalah 2006).


Tabel di atas menunjukkan adanya fluktuasi pesanan cukai di masa-masa antara Desember 2006 hingga Maret 2007 yang lebih besar (lihat besaran Standar Deviasi) dibanding fluktuasi periode Desember 2007 hingga Maret 2008. Gerangan apakah yang menyebabkan fluktuasi di triwulan I 2007 tersebut mencapai 5,5X lebih besar dibanding triwulan I 2008 ? Akan diurai satu per satu.

Di tahun 2007, tepatnya per 1 Maret, HJE dinaikkan 7% dan kemudian disusul per 1 Juli, diberlakukan tarif cukai spesifik sebesar Rp.7/batang rokok (untuk pabrikan golongan I). Tabel berikut akan memperjelas :


Peraturan ini menyebabkan pabrikan mengantisipasi dengan ‘menimbun’ cukai di bulan Januari & terutama Februari 2007. Di bulan Maret sendiri anjlok drastis. Penimbunan ini terpantau dari : (i) besarnya angka Standar Deviasi, dan (ii) jika dibandingkan dengan Januari dan Februari 2008 terlihat jauh lebih besar (growthnya minus -31,19% dan -31,89%).

Di tahun 2008, tepatnya per 1 Januari, untuk pabrikan golongan I mengalami kenaikan tarif cukai spesifik menjadi Rp.35/batang, yang diperjelas dengan tabel sebagai berikut :


Pabrikan mengantisipasi peraturan ini dengan ‘menimbun’ cukai di Desember 2007. Pesanan cukai di Januari 2008 sendiri anjlok drastis, terendah selama triwulan I tersebut. Indikasi penimbunan ini nampak dari meningkatnya jumlah pesanan cukai di Desember 2007 dibandingkan Desember 2006 sebesar 27,83%.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, hal-hal di atas menyebabkan turunnya jumlah pesanan cukai di triwulan I 2008 dibandingkan triwulan I 2007 sebesar -5%, walaupun bukan berarti penerimaan PPN selama triwulan I tersebut juga ikut turun. Setoran PPN dari pabrikan rokok yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar Dua (yang mewakili > 90% industri rokok nasional) meningkat 7,82% dari Rp.2,1 trilyun menjadi Rp.2,3 trilyun. Penyebabnya adalah adanya lag antara saat pemesanan cukai dan saat pelunasannya.


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment