Monday, May 7, 2012

PEMBUATAN FAKTUR PPN MENURUT UU PPN RENTAN PENYELEWENGAN?????

lintasberita Dalam suatu transaksi pihak yang melakukan penyerahan BKP atau JKP wajib membuat bukti pemungutan PPN baik berupa Faktur Pajak (FP) maupun Dokumen Tertentu yang kedudukannya disamakan dengan faktur pajak (DT).  Kedua jenis dokumen di atas sebenarnya tidak jauh berbeda, hanya berbeda pertimbangan penggunaannya saja. FP lebih bersifat umum, sedangkan Dokumen Tertentu cenderung lebih untuk PKP yang memiliki karakteristik tertentu, jumlah pembelinya sangat banyak misalnya.
     
     Kewajiban pembuatan Faktur Pajak diatur dalam pasal 13(1) UU 42/2009 (UU PPN), sedangkan mengenai Dokumen Tertentu diatur dalam pasal 13(6) UU PPN jo PER-10/2010. Dan ditegaskan di pasal 13(9) UU PPN bahwa FP harus memenuhi syarat Formal dan Material. Syarat formal FP diatur dalam pasal 13(5) UU PPN, sementara syarat material diatur dalam pasal 39A UU 16/2009 (UU KUP). Mari kita lihat satu persatu.

      Di pasal 13(5) disebutkan bahwa FP harus memuat paling sedikit :

a.               nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b.                   nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c.                   jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d.                  Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e.                   Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f.                    kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g.                  nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.


     Dan di pasal 39A UU KUP menyatakan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja :
a.      menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b.       menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, baik pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

     Apa dan bagaimana tentang FP dijelaskan dalam PER-13/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Sebelum keluarnya PER-13/2010 ini, peraturan sebelumnya yaitu PER-159/2006 menyatakan bahwa PKP yang menerbitkan FP tidak sesuai dengan ketentuan pasal 13(5) UU PPN akan dikenakan sanksi sesuai pasal 14(4) UU KUP, yaitu sebesar 2% x DPP. Tapi nanti dulu, kita akan cek di UU KUP apakah peraturannya memang ‘masih’ seperti itu dan ternyata, dengan adanya pembaruan UU KUP No.16/2000 dengan UU No.28/2007 stdtd UU No.16/2009 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2008, walaupun tidak mengubah pasal 14(4) tapi mengubah kriteria yang dikenai sanksi (yang diatur di pasal 14(1) huruf e) sebagai berikut :
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain :
a.      identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
b.       identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;


     Hal ini juga ditegaskan dalam PER-13 di pasal 15 yang menyatakan bahwa yang dikecualikan dari pengenaan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP adalah apabila PKP menerbitkan Faktur Pajak dengan tidak memuat keterangan mengenai:
  1.     .       nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
  2.       nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP, serta nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak, untuk PKP pedagang eceran.


     Jadi dapat disimpulkan bahwa walaupun di pasal 13(5) UU PPN memberikan syarat minimal informasi yang harus ada dalam FP, namun di UU KUP memberikan kelonggaran jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi, yang dipertegas lagi di peraturan pelaksanaan pasal 13 UU PPN, yaitu di PER-13/2010. Kelonggaran tersebut sangat menonjol jika PKP-nya adalah Pedagang Eceran.
Terus bagaimana dengan nasib pihak yang menerima bukti pemungutan PPN alias si pembeli? Sederhana saja, sepanjang di bukti pemungutan tersebut ada NPWP Pembeli & memenuhi persyaratan formal, maka si pembeli/pengimpor/pemanfaat bisa mengkreditkannya.
Nah, sekarang bagaimana dalam kasus pihak-pihak yang bertransaksi demi motif tertentu ‘memilih’ atau ‘mengatur’ agar transaksi mereka tidak terpantau pajak, misalnya si penjual dan pembeli dengan sengaja sepakat membuat faktur yang tidak lengkap?

     Implikasi transaksi di atas adalah si penjual tidak perlu merinci FP dalam daftar pajak keluaran di formulir A1 SPT Masa PPN 1111 (FP yang tidak diish dengan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual jumlahnya digunggungkan), toh ia tidak akan dikenai sanksi pasal 14(4) UU KUP. Bagi pembeli pajak masukan ini tidak dapat dikreditkan (menurut pasal 9(8) huruf f UU PPN : pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak) dan dimasukkan dalam formulir B3 SPT Masa PPN 1111. Di pembukuan, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan ini akan dibiayakan/dikapitalisasi. Yang menjadi masalah adalah bilamana si pembeli tidak merinci pajak masukan ini di lampiran B3 tersebut, mungkin karena merasa fokus perhatian fiskus tidak akan sampai ke situ. Alhasil, informasi mengenai transaksi di atas tidak akan masuk dalam system PK-PM DJP.

     Akhir kata, untuk mengantisipasi adanya ‘celah’ peraturan di atas agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sedikit tips berikut mungkin bisa bermanfaat :
·         Kenali proses bisnisnya. Apakah melibatkan input dan output yang dikenakan PPN/PPnBM.
·       Lakukan ekualisasi antara total nilai perolehan barang dan jasa menurut SPT Masa PPN dengan rincian pembelian barang dan jasa yang ada di Laporan Keuangan. Walaupun tidak mudah karena item-item yang terkait letaknya tersebar di berbagai pos biaya. Ini perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran atau perkiraan angka yang seharusnya tidak terlalu timpang antara kedua sumber tersebut.
·    Perlu diteliti pos Transaksi antar Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, karena mungkin saja karena adanya motif tertentu antara pihak-pihak di atas akan memunculkan perbedaan policy dalam menstruktur transaksi dibandingkan transaksi antara pihak-pihak yang independen.

Contoh :
PT. A dalam produksinya banyak menggunakan input barang dan jasa tidak kena PPN (pasal 4A UU PPN), otomatis oleh karenanya ekualisasi antara laporan keuangan dan SPT Masa PPN akan menghasilkan angka perolehan yang timpang secara signifikan.

Angka yang timpang signifikan tersebut, setelah diteliti lebih jauh dengan memanfaatkan informasi transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa, ternyata mengandung beberapa transaksi BKP/JKP dengan PT. B yang merupakan afiliasi yang nilainya besar. FP yang diterima dari PT. B tidak dapat dikreditkan karena tidak lengkap, dan informasi ini tidak dilaporkan di SPT Masa PPN lampiran B3 PT. A.

Dengan kondisi di atas, fiskus perlu melakukan klarifikasi bilamana telah terjadi kesengajaan dalam penerbitan FP secara tidak lengkap oleh PT. B dan tidak dilaporkannya transaksi tersebut oleh PT. A di SPT Masa PPN-nya.


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment