Kewajiban pembuatan Faktur Pajak diatur dalam pasal 13(1) UU 42/2009
(UU PPN), sedangkan mengenai Dokumen Tertentu diatur dalam pasal 13(6)
UU PPN jo PER-10/2010. Dan ditegaskan di pasal 13(9) UU PPN bahwa FP
harus memenuhi syarat Formal dan Material. Syarat formal FP diatur dalam
pasal 13(5) UU PPN, sementara syarat material diatur dalam pasal 39A UU
16/2009 (UU KUP). Mari kita lihat satu persatu.
Di pasal 13(5) disebutkan bahwa FP harus memuat paling sedikit :
a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Dan di pasal 39A UU KUP menyatakan bahwa :
Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menerbitkan
dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti
pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan
transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, baik pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam
faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau
bukti setoran pajak.
Apa dan bagaimana tentang FP dijelaskan dalam PER-13/2010 tentang Bentuk,
Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara
Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata
Cara Pembatalan Faktur Pajak. Sebelum keluarnya PER-13/2010 ini, peraturan sebelumnya yaitu PER-159/2006 menyatakan bahwa PKP yang menerbitkan FP tidak sesuai dengan ketentuan pasal 13(5) UU PPN akan dikenakan sanksi sesuai pasal 14(4) UU KUP,
yaitu sebesar 2% x DPP. Tapi nanti dulu, kita akan cek di UU KUP apakah
peraturannya memang ‘masih’ seperti itu dan ternyata, dengan adanya
pembaruan UU KUP No.16/2000 dengan UU No.28/2007 stdtd UU No.16/2009
yang mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 2008, walaupun tidak mengubah
pasal 14(4) tapi mengubah kriteria yang dikenai sanksi (yang diatur di
pasal 14(1) huruf e) sebagai berikut :
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain :
a. identitas
pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
b. identitas
pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984
dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak pedagang eceran;
Hal ini juga ditegaskan dalam PER-13 di pasal 15 yang menyatakan
bahwa yang dikecualikan dari pengenaan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP
adalah apabila PKP menerbitkan Faktur Pajak dengan tidak memuat keterangan mengenai:
- . nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
- nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP, serta nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak, untuk PKP pedagang eceran.
Jadi dapat disimpulkan bahwa walaupun di pasal 13(5) UU PPN
memberikan syarat minimal informasi yang harus ada dalam FP, namun di UU
KUP memberikan kelonggaran jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi,
yang dipertegas lagi di peraturan pelaksanaan pasal 13 UU PPN, yaitu di
PER-13/2010. Kelonggaran tersebut sangat menonjol jika PKP-nya adalah
Pedagang Eceran.
Terus
bagaimana dengan nasib pihak yang menerima bukti pemungutan PPN alias
si pembeli? Sederhana saja, sepanjang di bukti pemungutan tersebut ada
NPWP Pembeli & memenuhi persyaratan formal, maka si
pembeli/pengimpor/pemanfaat bisa mengkreditkannya.
Nah,
sekarang bagaimana dalam kasus pihak-pihak yang bertransaksi demi motif
tertentu ‘memilih’ atau ‘mengatur’ agar transaksi mereka tidak
terpantau pajak, misalnya si penjual dan pembeli dengan sengaja sepakat
membuat faktur yang tidak lengkap?
Implikasi transaksi di atas adalah si penjual tidak perlu merinci FP dalam daftar pajak keluaran di formulir A1 SPT Masa PPN 1111
(FP yang tidak diish dengan identitas pembeli serta nama dan tanda
tangan penjual jumlahnya digunggungkan), toh ia tidak akan dikenai
sanksi pasal 14(4) UU KUP. Bagi pembeli pajak masukan ini tidak dapat
dikreditkan (menurut pasal 9(8) huruf f UU PPN : pengkreditan Pajak
Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi
pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa
Kena Pajak) dan dimasukkan dalam formulir B3 SPT Masa PPN 1111.
Di pembukuan, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan ini akan
dibiayakan/dikapitalisasi. Yang menjadi masalah adalah bilamana si
pembeli tidak merinci pajak masukan ini di lampiran B3 tersebut, mungkin
karena merasa fokus perhatian fiskus tidak akan sampai ke situ.
Alhasil, informasi mengenai transaksi di atas tidak akan masuk dalam
system PK-PM DJP.
Akhir kata, untuk mengantisipasi adanya ‘celah’ peraturan di atas
agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,
sedikit tips berikut mungkin bisa bermanfaat :
· Kenali proses bisnisnya. Apakah melibatkan input dan output yang dikenakan PPN/PPnBM.
· Lakukan
ekualisasi antara total nilai perolehan barang dan jasa menurut SPT
Masa PPN dengan rincian pembelian barang dan jasa yang ada di Laporan
Keuangan. Walaupun tidak mudah karena item-item yang terkait letaknya
tersebar di berbagai pos biaya. Ini perlu dilakukan untuk memperoleh
gambaran atau perkiraan angka yang seharusnya tidak terlalu timpang
antara kedua sumber tersebut.
· Perlu
diteliti pos Transaksi antar Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan
Istimewa, karena mungkin saja karena adanya motif tertentu antara
pihak-pihak di atas akan memunculkan perbedaan policy dalam menstruktur
transaksi dibandingkan transaksi antara pihak-pihak yang independen.
Contoh :
PT.
A dalam produksinya banyak menggunakan input barang dan jasa tidak kena
PPN (pasal 4A UU PPN), otomatis oleh karenanya ekualisasi antara
laporan keuangan dan SPT Masa PPN akan menghasilkan angka perolehan yang
timpang secara signifikan.
Angka
yang timpang signifikan tersebut, setelah diteliti lebih jauh dengan
memanfaatkan informasi transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki
hubungan istimewa, ternyata mengandung beberapa transaksi BKP/JKP dengan
PT. B yang merupakan afiliasi yang nilainya besar. FP yang diterima
dari PT. B tidak dapat dikreditkan karena tidak lengkap, dan informasi
ini tidak dilaporkan di SPT Masa PPN lampiran B3 PT. A.
Dengan
kondisi di atas, fiskus perlu melakukan klarifikasi bilamana telah
terjadi kesengajaan dalam penerbitan FP secara tidak lengkap oleh PT. B
dan tidak dilaporkannya transaksi tersebut oleh PT. A di SPT Masa
PPN-nya.
No comments:
Post a Comment