Thursday, May 17, 2012

Mengapa THC Dikenakan PPN?

lintasberita Masalah pungutan tambahan (surcharge) terminal handling charge (THC), yang dipungut oleh pelayaran asing melalui perwakilan/agennya di Indonesia, kembali mencuat ke permukaan beberapa pekan terakhir.
Uniknya, isu THC itu dikait-kaitkan dengan container handling charge (CHC), yang dipungut para pengelola terminal kontainer dan semi-kontainer di berbagai pelabuhan di Tanah Air. Pengaitan ini sama sekali tidak tepat karena CHC memiliki dasar hukum tegas, yang diatur melalui Kepmenhub dengan patokan tarif batas atas senilai US$93 per boks 20 kaki (TEUs) dan US$139 per boks 40 kaki (FEUs).
CHC ini, secara jelas sudah dimasukkan dalam dokumen biaya pengapalan yang harus dibayar para pemilik barang (shipper) kepada perusahaan pelayaran, yang kemudian dibayarkan kepada para operator terminal kontainer dan semi-kontainer.

Sementara, THC adalah biaya tambahan yang muncul dan diterapkan sejak 1997 oleh pelayaran internasional dengan alasan untuk menutupi risiko perang, bi`ya bunker BBM, atau kongesti di pelabuhan. Meski alasan ini sampai sekarang belum pernah bisa dibuktikan validitasnya, bahkan terus dipertanyakan para pengguna jasa, tapi hingga sekarang pelayaran asing tetap memungut THC dengan tarif US$150 per TEUs dan US$250 per FEUs.
THC ini sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan hingga sekarang tidak masuk dalam komponen ocean freight sebagaimana layaknya CHC. Akibatnya, para eksportir dan importir nasional sangat dirugikan dan tidak dapat serta merta mengkalkulasikannya dalam pos biaya operasional, karena masuk kategori pungutan liar (pungli) alias biaya tak terduga, yang sulit dipertanggungjawabkan secara finansial.
Dalam buku penulis Menyongsong Era Hub Internasional (2004) dan Revolusi Industri Pelayaran dan Penerbangan (2005), persoalan THC ini menjadi salah satu isu pokok yang mendapat porsi pembahasan sangat besar karena menyangkut penguapan potensi devisa negara yang mencapai miliaran dollar AS.
Tapi, sampai sekarang belum ada tanda-tanda bahwa THC itu akan dihapuskan, yang mengemuka hanya rencana untuk meminta agar diturunkan tarifnya menjadi sekitar US$100 per TEUs.
Padahal, kalau pemerintah ngotot untuk meminta pelayaran asing menghapus THC, sebenarnya armada asing dalam posisi tawar lemah. Logikanya, apa mereka mau mengorbankan potensi pemasukan US$2.000 - US$3.000 per TEUs ocean freight, hanya karena THC yang cuma US$150 per TEUs.
Sebenarnya, pelayaran asing yang menghembuskan boikot layanan internasional ke Indonesia kalau THC dihapus, sebenarnya hanya menggertak dan mereka inilah yang sekarang berlindung di balik sejumlah kartel konsorsium pelayaran internasional.
Buktinya di Eropa, mereka juga sudah tidak berdaya, karena di luar konsorsium itu masih banyak pelayaran internasional yang siap mencaplok potensi muatan yang telah dikuasai kartel itu.
Artinya, sekali mereka memutuskan untuk hengkang dari rute internasional ke Indonesia, maka sederet pelayaran asing di luar konsorsium bakal dengan senang hati menggantikan mereka.
Selain dikaitkan dengan CHC (container handling charge), yang tarif batas atasnya ditetapkan Kepmenhub, mencuatnya isu THC justru dipicu surat tagihan pajak dan beban akumulasi pelanggaran tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% terhadap jasa kepelabuhanan pelayaran jalur internasional, yang diberikan PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) selama 2000-2005 sekitar Rp632 miliar. Surat itu dilayangkan Ditjen Pajak Khusus KPP BUMN.
Memang langkah Ditjen Pajak itu bertentangan dengan Surat Menkeu No.S-995/ MK. 04/1990 tanggal 20 Agustus 1990, yang menyatakan kapal yang melakukan pelayaran ja-lur internasional dikecualikan dari PPN. Jenis jasa yang mendapat fasilitas bebas PPN ada-lah jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh.
Selain itu, rencana pungutan itu terkesan mengabaikan best practice global, yang memang sudah menghapuskan PPN tersebut. Justru penghapusan pungutan itu, yang sekarang banyak dipakai sebagai nilai tambah untuk meningkatkan daya saing berbagai pelabuh-an internasional di dunia, sehingga lebih banyak lagi kapal ocean going yang sandar.
Selain itu, rencana penerapan PPN itu juga terkesan meng-abaikan perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty), yang diteken Indonesia dengan mayoritas negara asal kapal-kapal ocean going.
Karena itu, kalau pun PPN ini akan diteruskan, mestinya tidak berlaku surut seperti keinginan Ditjen Pajak. Apalagi, rencana memungut PPN sejak 2000 itu sudah diakui TPS sulit dilakukan dan operator kapal internasional juga belum tentu mau melunasinya, karena berbagai alasan yang pasti berpotensi kontraproduktif terhadap kelangsungan pelayanan dan pergaulan perdagangan internasional RI di mata dunia.
Selain itu, Ditjen Pajak juga patut menjajagi untuk menempatkan pungutan PPN ini sebagai kompensasi dari tidak dipungutnya pajak atas THC (terminal handling charge), yang telah dilakukan operator kapal ocean going 10 tahun terakhir.
THC, yang per tahun mencapai ratusan juta dolar AS itu, selama ini bulat-bulat diambil oleh kartel pelayaran asing ocean going.
Inilah saatnya, Ditjen Pajak berperan nyata untuk membantu kalangan eksportir dan importir nasional agar terbebas dari belenggu THC. Mungkinkah? (indra.sutha@bisnis.co.id)
Oleh Indra Sutha
Wartawan Bisnis Indonesia


Artikel Terkait:

No comments:

Post a Comment