Masalah pungutan tambahan (surcharge) terminal handling charge (THC),
 yang dipungut oleh pelayaran asing melalui perwakilan/agennya di 
Indonesia, kembali mencuat ke permukaan beberapa pekan terakhir.Uniknya, isu THC itu dikait-kaitkan dengan container handling charge (CHC), yang dipungut para pengelola terminal kontainer dan semi-kontainer di berbagai pelabuhan di Tanah Air. Pengaitan ini sama sekali tidak tepat karena CHC memiliki dasar hukum tegas, yang diatur melalui Kepmenhub dengan patokan tarif batas atas senilai US$93 per boks 20 kaki (TEUs) dan US$139 per boks 40 kaki (FEUs).
CHC
 ini, secara jelas sudah dimasukkan dalam dokumen biaya pengapalan yang 
harus dibayar para pemilik barang (shipper) kepada perusahaan pelayaran,
 yang kemudian dibayarkan kepada para operator terminal kontainer dan 
semi-kontainer. 
Sementara, THC adalah biaya 
tambahan yang muncul dan diterapkan sejak 1997 oleh pelayaran 
internasional dengan alasan untuk menutupi risiko perang, bi`ya bunker 
BBM, atau kongesti di pelabuhan. Meski alasan ini sampai sekarang belum 
pernah bisa dibuktikan validitasnya, bahkan terus dipertanyakan para 
pengguna jasa, tapi hingga sekarang pelayaran asing tetap memungut THC 
dengan tarif US$150 per TEUs dan US$250 per FEUs. 
THC
 ini sama sekali tidak memiliki dasar hukum dan hingga sekarang tidak 
masuk dalam komponen ocean freight sebagaimana layaknya CHC. Akibatnya, 
para eksportir dan importir nasional sangat dirugikan dan tidak dapat 
serta merta mengkalkulasikannya dalam pos biaya operasional, karena 
masuk kategori pungutan liar (pungli) alias biaya tak terduga, yang 
sulit dipertanggungjawabkan secara finansial. 
Dalam
 buku penulis Menyongsong Era Hub Internasional (2004) dan Revolusi 
Industri Pelayaran dan Penerbangan (2005), persoalan THC ini menjadi 
salah satu isu pokok yang mendapat porsi pembahasan sangat besar karena 
menyangkut penguapan potensi devisa negara yang mencapai miliaran dollar
 AS. 
Tapi, sampai sekarang belum ada tanda-tanda 
bahwa THC itu akan dihapuskan, yang mengemuka hanya rencana untuk 
meminta agar diturunkan tarifnya menjadi sekitar US$100 per TEUs. 
Padahal,
 kalau pemerintah ngotot untuk meminta pelayaran asing menghapus THC, 
sebenarnya armada asing dalam posisi tawar lemah. Logikanya, apa mereka 
mau mengorbankan potensi pemasukan US$2.000 - US$3.000 per TEUs ocean 
freight, hanya karena THC yang cuma US$150 per TEUs. 
Sebenarnya,
 pelayaran asing yang menghembuskan boikot layanan internasional ke 
Indonesia kalau THC dihapus, sebenarnya hanya menggertak dan mereka 
inilah yang sekarang berlindung di balik sejumlah kartel konsorsium 
pelayaran internasional. 
Buktinya di Eropa, 
mereka juga sudah tidak berdaya, karena di luar konsorsium itu masih 
banyak pelayaran internasional yang siap mencaplok potensi muatan yang 
telah dikuasai kartel itu. 
Artinya, sekali mereka
 memutuskan untuk hengkang dari rute internasional ke Indonesia, maka 
sederet pelayaran asing di luar konsorsium bakal dengan senang hati 
menggantikan mereka. 
Selain dikaitkan dengan CHC 
(container handling charge), yang tarif batas atasnya ditetapkan 
Kepmenhub, mencuatnya isu THC justru dipicu surat tagihan pajak dan 
beban akumulasi pelanggaran tidak memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
 10% terhadap jasa kepelabuhanan pelayaran jalur internasional, yang 
diberikan PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS) selama 2000-2005 sekitar 
Rp632 miliar. Surat itu dilayangkan Ditjen Pajak Khusus KPP BUMN. 
Memang
 langkah Ditjen Pajak itu bertentangan dengan Surat Menkeu No.S-995/ MK.
 04/1990 tanggal 20 Agustus 1990, yang menyatakan kapal yang melakukan 
pelayaran ja-lur internasional dikecualikan dari PPN. Jenis jasa yang 
mendapat fasilitas bebas PPN ada-lah jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat
 dan jasa labuh. 
Selain itu, rencana pungutan itu
 terkesan mengabaikan best practice global, yang memang sudah 
menghapuskan PPN tersebut. Justru penghapusan pungutan itu, yang 
sekarang banyak dipakai sebagai nilai tambah untuk meningkatkan daya 
saing berbagai pelabuh-an internasional di dunia, sehingga lebih banyak 
lagi kapal ocean going yang sandar. 
Selain itu, 
rencana penerapan PPN itu juga terkesan meng-abaikan perjanjian 
penghindaran pajak berganda (tax treaty), yang diteken Indonesia dengan 
mayoritas negara asal kapal-kapal ocean going. 
Karena
 itu, kalau pun PPN ini akan diteruskan, mestinya tidak berlaku surut 
seperti keinginan Ditjen Pajak. Apalagi, rencana memungut PPN sejak 2000
 itu sudah diakui TPS sulit dilakukan dan operator kapal internasional 
juga belum tentu mau melunasinya, karena berbagai alasan yang pasti 
berpotensi kontraproduktif terhadap kelangsungan pelayanan dan pergaulan
 perdagangan internasional RI di mata dunia. 
Selain
 itu, Ditjen Pajak juga patut menjajagi untuk menempatkan pungutan PPN 
ini sebagai kompensasi dari tidak dipungutnya pajak atas THC (terminal 
handling charge), yang telah dilakukan operator kapal ocean going 10 
tahun terakhir. 
THC, yang per tahun mencapai ratusan juta dolar AS itu, selama ini bulat-bulat diambil oleh kartel pelayaran asing ocean going. 
Inilah
 saatnya, Ditjen Pajak berperan nyata untuk membantu kalangan eksportir 
dan importir nasional agar terbebas dari belenggu THC. Mungkinkah? 
(indra.sutha@bisnis.co.id) 
Oleh Indra Sutha 
Wartawan Bisnis Indonesia
Wartawan Bisnis Indonesia
No comments:
Post a Comment